[Medan | 31 Juli 2025] Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), kembali memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan Federal Funds Rate di kisaran 4,25%–4,50% pada rapat FOMC 30 Juli 2025.
Dalam pernyataan resminya, Fed menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi AS mulai melambat meskipun pada semester I-2025 sempat menunjukkan pemulihan. Sebagai informasi, pertumbuhan PDB kuartal II-2025 memang rebound, namun hanya di level 3% setelah sebelumnya terkontraksi -0,5% di kuartal I. Konsumsi domestik tumbuh terbatas, memperlihatkan melemahnya daya beli. Inflasi inti (core PCE) masih di atas target 2%, berada di kisaran 2,5%–2,7%, sehingga Fed belum siap memangkas suku bunga meski tekanan dari Presiden Trump semakin kuat.
Rapat FOMC kali ini diwarnai dissent dari dua anggota, Christopher Waller dan Michelle Bowman, yang mendesak penurunan suku bunga segera karena melihat tanda-tanda pelemahan pasar tenaga kerja dan konsumsi. Namun, mayoritas anggota tetap bersikap hati-hati dengan menunggu data lanjutan sebelum mengambil langkah besar. Ketua Fed Jerome Powell menegaskan bahwa kebijakan moneter akan tetap independen, tidak tunduk pada tekanan politik, dan hanya akan disesuaikan jika data ekonomi mendukung.
Pasar keuangan merespons keputusan ini dengan tenang. Wall Street ditutup menguat tipis, sementara yield obligasi AS bergerak stabil. Futures FedWatch menunjukkan mayoritas pelaku pasar memperkirakan pemangkasan suku bunga baru akan terjadi pada September 2025 dengan proyeksi penurunan 25 basis poin.
Keputusan Fed kali ini mencerminkan dilema klasik dalam kebijakan moneter, yaitu mengendalikan inflasi tanpa menjerumuskan ekonomi ke dalam resesi. Tantangan Fed semakin berat dengan inflasi yang masih sulit diturunkan, kebijakan tarif baru Presiden Trump yang meningkatkan ketidakpastian perdagangan, serta risiko politik yang menguji independensi Fed. Bagi pasar obligasi global, sinyal perlambatan ekonomi AS memberikan harapan penurunan yield dalam jangka menengah, yang dapat mendorong kenaikan harga obligasi, termasuk di pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Jika pemangkasan suku bunga benar terjadi pada September, arus modal berpotensi mengalir lebih deras ke emerging market, memperkuat rupiah dan mendukung pasar surat utang domestik. Meskipun begitu, volatilitas tetap tinggi. Jika inflasi tidak menurun sesuai harapan, Fed mungkin menunda pemangkasan suku bunga lebih lama, memicu koreksi pasar. Investor harus mencermati data tenaga kerja AS, indeks harga konsumen (CPI), serta pernyataan pejabat Fed dalam beberapa minggu ke depan.
Bagi Indonesia, ekspektasi pemangkasan suku bunga Fed menjadi sentimen positif bagi pasar obligasi domestik. Yield yang lebih rendah di AS akan mendorong masuknya dana asing ke obligasi Indonesia. Namun, investor tetap perlu waspada terhadap risiko global, terutama tensi perdagangan dan ketidakpastian politik AS yang dapat memicu gejolak pasar sewaktu-waktu.