[Medan | 28 November 2025] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa skema bea keluar (BK) untuk komoditas batubara akan berbeda dengan emas, terutama terkait metode perhitungan tarifnya. Pemerintah menyatakan bahwa BK batubara hanya akan dikenakan jika harga global mencapai level tertentu, tidak seperti BK emas yang telah dipatok tetap sebesar 15%.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Tri Winarno, menyampaikan bahwa pemerintah tengah menyusun formulasi tarif dan mekanisme pengenaan BK batubara. Ia menyebut angka acuan telah ditetapkan secara internal, namun belum dapat dipublikasikan karena masih dalam tahap penyempurnaan kebijakan.
Tri menekankan bahwa pemerintah memiliki dua tujuan utama dalam skema tersebut: menjaga keberlanjutan industri dan mengoptimalkan penerimaan negara. Menurutnya, kebijakan tidak boleh membebani pelaku usaha hingga mengganggu kelangsungan operasional sektor batubara.
Pemerintah membuka peluang penerapan BK batubara mulai tahun depan, beriringan dengan rencana implementasi BK emas. Namun, penetapan tarif akan bergantung pada perhitungan batas harga internasional yang akan menjadi pemicu pengenaan BK.
Di sisi lain, pelaku industri mengungkapkan keberatan atas rencana tersebut. Ketua Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menilai BK batubara berpotensi tidak tepat sasaran mengingat mayoritas produksi batubara Indonesia masih bergantung pada ekspor. Pangsa untuk kebutuhan domestik saat ini hanya sekitar 30–32%, sehingga produsen tidak memiliki kendali terhadap harga global.
Hendra menambahkan bahwa penerimaan negara dari sektor pertambangan sebenarnya sudah cukup signifikan melalui pembayaran royalti dan PNBP lainnya. Karena itu, ia menilai penambahan bea keluar justru dapat memperberat beban industri.
Pernyataan serupa disampaikan Plt Direktur Eksekutif APBI, Gita Mahyarani, yang menilai rencana BK akan menambah komponen biaya yang cukup besar bagi perusahaan batubara, terutama di tengah pelemahan harga komoditas dan permintaan global.
Gita menjelaskan bahwa harga jual domestik saat ini berada jauh di bawah harga ekspor, yakni di kisaran US$70–US$90 per ton. Dengan struktur seperti itu, penambahan beban BK dinilai berpotensi menekan margin pelaku usaha.

