[Medan | 10 November 2025] Wacana redenominasi rupiah kembali mencuat setelah tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029 yang diteken oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Rencana ini membuka kembali pembahasan lama mengenai penyederhanaan nominal rupiah, yakni memangkas tiga angka nol — sehingga Rp1.000 menjadi Rp1, tanpa mengubah nilai atau daya beli uang tersebut.
Redenominasi sebenarnya bukan hal baru. Bank Indonesia (BI) sudah menggagasnya sejak 2010, namun hingga kini belum terealisasi. Tujuannya bukan memperkuat kurs rupiah, melainkan meningkatkan efisiensi ekonomi dan mempermudah sistem administrasi serta transaksi keuangan nasional.
Dari sisi manfaat, penyederhanaan nominal dinilai akan:
- Mempermudah transaksi dan pembukuan akuntansi, khususnya untuk bisnis besar dan sistem keuangan yang kini kerap menghadapi keterbatasan teknis akibat nominal besar.
- Menekan potensi kesalahan pencatatan (human error) dalam transaksi.
- Memudahkan pengendalian inflasi dan kebijakan moneter, karena skala harga menjadi lebih sederhana.
- Menekan biaya pencetakan uang dan memperpanjang masa pakai uang logam.
Namun, para ekonom menegaskan bahwa redenominasi tidak serta merta memperkuat rupiah terhadap dolar AS. Menurut ekonom senior Raden Pardede, dampaknya lebih bersifat psikologis dan administratif. Nilai tukar tetap bergantung pada faktor fundamental seperti neraca pembayaran, inflasi, dan arus modal asing.
Raden juga menilai kebijakan ini belum mendesak, berbeda dengan negara-negara yang menerapkannya akibat hiperinflasi atau krisis moneter seperti Zimbabwe atau Turki. Dalam konteks Indonesia, redenominasi justru dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi sistem keuangan, bukan karena tekanan ekonomi.
Gubernur BI Perry Warjiyo turut menegaskan bahwa redenominasi berpotensi meningkatkan efisiensi sistem pembayaran dan perbankan digital. “Dengan mengurangi tiga nol, transaksi akan lebih cepat dan efisien,” ujarnya.
Dampak terhadap ekonomi dan pasar:
Jika diterapkan secara hati-hati dan bertahap, redenominasi berpotensi meningkatkan kepercayaan terhadap stabilitas rupiah dan memperkuat persepsi internasional terhadap manajemen ekonomi Indonesia. Namun dalam jangka pendek, kebijakan ini netral terhadap inflasi dan nilai tukar, karena tidak mengubah daya beli atau fundamental ekonomi.
Pasar keuangan kemungkinan akan menilai positif kebijakan ini bila disertai komunikasi publik yang jelas dan stabilitas makroekonomi yang terjaga. Sebaliknya, implementasi yang tergesa-gesa bisa menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian sementara di sektor riil dan perbankan.

