[Medan | 6 November 2025] Mahkamah Agung Amerika Serikat menunjukkan sikap skeptis terhadap legalitas kebijakan tarif impor yang diberlakukan Donald Trump. Sejumlah hakim kunci, termasuk Ketua MA John Roberts dan Neil Gorsuch, mempertanyakan dasar hukum yang digunakan Trump melalui International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) tahun 1977. Mereka menilai kebijakan tarif besar-besaran tersebut berpotensi melampaui kewenangan eksekutif presiden.
Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kebijakan itu tidak sah, pemerintah AS dapat dipaksa mengembalikan lebih dari US$100 miliar kepada importir. Selain berdampak fiskal, keputusan ini juga akan menjadi pembatasan penting terhadap kekuasaan eksekutif presiden, sekaligus menandai perubahan arah kebijakan perdagangan AS yang lebih terbuka di tengah ketegangan global.
Bagi pasar keuangan internasional, proses hukum ini menjadi sumber ketidakpastian baru menjelang akhir 2025. Potensi pembatalan tarif dipandang sebagai katalis positif bagi saham global, khususnya di sektor industri dan ekspor. Mitra dagang utama AS seperti China, Meksiko, dan Uni Eropa berpeluang memperoleh manfaat melalui pemulihan arus perdagangan dan penurunan hambatan tarif. Hal ini juga dapat menekan indeks dolar AS (DXY) serta mendorong penguatan mata uang emerging markets, termasuk rupiah.
Namun, apabila Mahkamah Agung justru menguatkan legalitas kebijakan tarif Trump, pasar berpotensi menghadapi sentimen risk-off. Dolar AS cenderung menguat, sementara harga komoditas dan saham global berisiko tertekan akibat meningkatnya tensi proteksionisme. Imbal hasil obligasi AS (Treasury yield) bisa naik seiring ekspektasi inflasi dari tarif yang lebih tinggi, mendorong arus keluar modal dari pasar negara berkembang.
Secara keseluruhan, investor global kini mencermati arah putusan yang diperkirakan keluar sebelum akhir tahun. Hasil sidang ini dapat menjadi katalis besar bagi arah perdagangan dunia, arus modal global, dan strategi kebijakan moneter sejumlah bank sentral utama di awal 2026.

