[Medan | 22 Juli 2025] Pemerintah Indonesia menyatakan siap menampung investasi jumbo senilai US$100 miliar atau setara Rp1.600 triliun untuk memperkuat program hilirisasi mineral.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan bahwa investasi besar ini akan mengalir untuk mendukung ekosistem baterai kendaraan listrik, yang menempatkan Indonesia sebagai produsen baterai EV terbesar kedua di dunia setelah China.
Menurut Bahlil, investasi tersebut akan diumumkan secara resmi pada November mendatang, melengkapi sejumlah proyek hilirisasi yang telah berjalan. Saat ini, proyek dari investor asal China dan Korea Selatan senilai US$8 miliar tengah digarap untuk mengolah bahan mentah nikel menjadi cell battery. Bahlil menyebut Presiden Prabowo bahkan meminta hilirisasi tidak berhenti di baterai saja, tetapi hingga ke tahap produksi mobil listrik.
Salah satu proyek strategis yang sudah diresmikan adalah Proyek Dragon dengan nilai investasi US$5,9 miliar. Proyek yang melibatkan konsorsium Ningbo Contemporary Brunp Lygend (CBL), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), dan Indonesia Battery Corporation (IBC) ini mampu memproduksi baterai kendaraan listrik berkapasitas hingga 15 GWh per tahun. CBL sendiri merupakan anak usaha dari raksasa baterai global asal China, Contemporary Amperex Technology Co. Ltd (CATL).
Selain itu, pemerintah juga menargetkan peletakan batu pertama (groundbreaking) Proyek Titan pada September–Oktober 2025. Proyek ini digarap oleh konsorsium Zhejiang Huayou Cobalt Co. bersama IBC, menggantikan LG Energy Solution yang memutuskan keluar dari proyek. Nilai komitmen investasi untuk Proyek Titan dan Omega mencapai US$9,8 miliar, mencakup tambang nikel, smelter HPAL, pabrik prekursor, katoda, hingga manufaktur sel baterai.
Masuknya investasi jumbo ini diperkirakan akan memperkuat ketahanan energi nasional, mendorong pertumbuhan industri bernilai tambah, serta memperbesar peluang ekspor produk hilirisasi. Di sisi lain, proyek-proyek ini juga bisa menjadi katalis positif bagi pasar keuangan, termasuk pasar obligasi, mengingat kebutuhan pembiayaan jangka panjang dari sektor industri strategis akan meningkat, baik melalui surat utang negara maupun korporasi yang terlibat dalam rantai pasok energi hijau.