[Medan | 15 Juli 2025] Menanggapi rencana Presiden AS Donald Trump yang akan menaikkan tarif impor, termasuk kemungkinan tarif sekunder bagi negara-negara pembeli minyak Rusia, sejumlah ekonom dan investor global menilai Bank Indonesia (BI) perlu menurunkan suku bunga lebih agresif.
Bank Indonesia dianggap dapat membantu memperkuat daya saing domestik serta meredam tekanan rupiah dan inflasi, yang muncul seiring ketegangan geopolitik dan proteksionisme global.
Namun, analis dari Mirae Asset Sekuritas, Karinska Salsabila Priyatno, memperingatkan agar BI bersikap hati-hati dan tidak mendahului langkah Federal Reserve (The Fed). Karinska menyebut BI kemungkinan besar akan menahan atau tidak terlalu cepat menurunkan suku bunga supaya tidak memicu pelarian modal, apalagi mengingat pasar tenaga kerja AS masih relatif kuat.
Sementara itu, analis Infovesta Kapital Advisori, Fajar Dwi Alfian, menilai ruang pemangkasan BI memang perlu tapi harus sejalan dengan data domestik. Fajar menyebut inflasi Indonesia saat ini masih terkendali, nilai tukar relatif stabil, dan prospek pemangkasan bunga The Fed masih belum pasti.
Jika BI menurunkan suku bunga, sektor properti, perbankan, dan konsumsi bisa menikmati angin segar dari suku bunga yang lebih rendah, sekaligus meningkatkan aktivitas kredit dan konsumsi masyarakat.
Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan, juga mendukung potensi penurunan BI Rate sebesar 25 basis poin jadi 5,25% pada Juli 2025. Menurutnya, sentimen global yang tertekan akibat tarif trade war dan inflasi domestik yang masih ringan memberi kelonggaran bagi BI untuk melakukan pelonggaran moneter. Tapi ia juga menyoroti bahwa pola trajectory BI harus mempertimbangkan rebalance suku bunga AS dan arus modal asing masuk atau keluar.
Sentimen tarif Trump yang memicu kekhawatiran global memberi tekanan ke rupiah dan yield SBN jangka pendek. Dalam konteks itu, pemangkasan suku bunga oleh BI akan bisa menjadi sinyal penting bagi pasar keuangan, mendorong aksi beli saham perbankan dan emiten berbasis konsumsi atau properti. Namun, jika BI terlalu agresif sebelum The Fed, risikonya adalah arus modal asing keluar serta pelemahan rupiah, sehingga BI perlu menjaga keseimbangan antara mempertahankan stabilitas nilai tukar dan mendorong pertumbuhan ekonomi.