[Medan | 10 November 2025] Kebuntuan politik di Washington membuat penutupan pemerintahan Amerika Serikat (AS) kini memasuki hari ke-40 tanpa tanda-tanda penyelesaian. Negosiasi antara Partai Republik dan Partai Demokrat kembali menemui jalan buntu, memperpanjang ketidakpastian fiskal yang mulai menekan aktivitas ekonomi domestik maupun sentimen pasar global.
Upaya kompromi dari Demokrat untuk memperpanjang kredit pajak dalam Undang-Undang Perawatan Terjangkau (Affordable Care Act/Obamacare) selama satu tahun sebagai imbalan pembukaan kembali pemerintahan ditolak oleh Partai Republik. Meski sejumlah senator masih berupaya mencari titik temu, kebuntuan politik ini terus memperburuk dampak ekonomi yang meluas ke berbagai sektor.
Efek ekonomi shutdown kini makin nyata. Sekitar 24 juta warga AS terdampak lonjakan biaya asuransi kesehatan, tunjangan pangan tertunda, dan ribuan pegawai federal belum menerima gaji. Badan Penerbangan Federal juga menginstruksikan pengurangan penerbangan hingga 10%, yang bisa meningkat menjadi 20% menjelang periode libur Thanksgiving.
Kantor Anggaran Kongres memperkirakan shutdown menelan biaya ekonomi sekitar US$15 miliar per minggu, memangkas pertumbuhan PDB kuartalan AS hingga 1,5 poin persentase. Dampaknya mulai terasa di pasar keuangan global, dengan meningkatnya kekhawatiran investor terhadap prospek fiskal AS, potensi penurunan konsumsi domestik, serta tekanan terhadap dolar AS dan imbal hasil Treasury jangka pendek.
Bagi pasar global, ketidakpastian politik dan risiko perlambatan ekonomi AS mendorong sentimen risk-off. Investor cenderung beralih ke aset aman seperti emas dan yen Jepang, sementara volatilitas di pasar obligasi dan saham AS berpotensi meningkat hingga kesepakatan fiskal tercapai.

