[Medan | 8 Desember 2025] Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) resmi merevisi aturan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) melalui revisi kedua PP 36/2023, yang akan berlaku mulai 1 Januari 2026. Perubahan ini dilakukan karena kebijakan sebelumnya dinilai belum sepenuhnya efektif dalam meningkatkan cadangan devisa nasional.
Pemerintah mewajibkan seluruh DHE SDA ditempatkan di bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Aturan konversi valuta asing (valas) ke rupiah diperketat menjadi maksimal 50 persen, dari sebelumnya tanpa batas yang jelas. Retensi 100 persen untuk DHE nonmigas tetap diberlakukan selama 12 bulan. Penggunaan valas diperluas untuk pengadaan barang, jasa, dan modal kerja. Penempatan dana di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tidak lagi diperbolehkan, sehingga seluruh DHE harus melalui rekening khusus valas di bank BUMN yang berizin valas.
Instrumen penempatan juga diperluas, termasuk surat berharga negara (SBN) valas, tetapi penempatan pada instrumen tersebut tidak dapat ditarik sampai periode retensi berakhir.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai kebijakan baru ini muncul karena perilaku eksportir selama ini tidak mendukung peningkatan cadangan devisa. Meskipun sudah ada rekening khusus, sebagian besar eksportir masih menukar valas ke rupiah atau memindahkan dananya ke luar negeri. Josua mencatat bahwa dari aliran DHE nonmigas US$9,5 miliar hingga US$10,5 miliar per bulan pada periode Maret–September 2025, lebih dari 70 persen dikonversi ke rupiah. Dana yang bertahan dalam bentuk valas hanya 8–17 persen dan terus menurun.
Dengan penerapan kewajiban penempatan 100 persen di Himbara dan pembatasan konversi menjadi 50 persen, likuiditas valas yang bertahan di dalam negeri berpotensi meningkat signifikan. Dengan rata-rata DHE nonmigas sekitar US$10 miliar per bulan, pembatasan tersebut dapat menahan tambahan sekitar 30 persen valas, setara US$3 miliar per bulan atau lebih dari US$30 miliar per tahun. Dana tersebut dapat tersimpan sebagai saldo valas di perbankan atau penempatan dalam instrumen valas seperti SBN.
Menurut Josua, peningkatan likuiditas valas domestik akan memperkuat pasar valas dalam negeri, membantu perbankan memenuhi kebutuhan valas korporasi, dan mengurangi tekanan terhadap rupiah ketika terjadi guncangan eksternal. Namun, tambahan likuiditas itu tidak otomatis masuk ke cadangan devisa BI, karena cadangan devisa merupakan aset luar negeri milik otoritas moneter, bukan seluruh valas di perbankan nasional. Dana tersebut baru menjadi cadangan devisa ketika BI menyerapnya melalui operasi pasar atau instrumen lainnya. Jika sepertiga hingga separuh dari tambahan valas itu masuk ke BI, cadangan devisa berpotensi naik US$10–15 miliar dalam beberapa tahun.
Meski memiliki potensi penguatan devisa, Josua menilai kebijakan ini memiliki risiko. Pembatasan konversi dan penempatan dana hanya di Himbara dapat mendorong sebagian eksportir mencari cara untuk menghindarinya, termasuk melalui misinvoicing ekspor-impor atau pengalihan transaksi ke afiliasi luar negeri. Selain itu, retensi 12 bulan dan penempatan di SBN valas dapat menimbulkan kekhawatiran terkait kecocokan tenor dengan kebutuhan likuiditas perusahaan.
Josua menekankan pentingnya penguatan integrasi data antara pabean, perpajakan, dan perbankan untuk mencegah kebocoran. Ia juga menilai kebijakan ini memerlukan insentif pendamping, seperti keringanan pajak atas kupon SBN valas, suku bunga penempatan yang kompetitif, serta kemudahan penggunaan DHE untuk pembiayaan perdagangan dan lindung nilai.
Ia menyimpulkan bahwa secara desain, aturan baru DHE berpotensi menahan lebih banyak valas di dalam negeri dan memperkuat cadangan devisa, sekaligus menjaga stabilitas makroekonomi. Namun keberhasilan implementasi akan sangat bergantung pada kepatuhan eksportir, daya tarik instrumen penempatan, serta koordinasi konsisten antara Kementerian Keuangan dan BI.

