[Medan | 11 Desember 2025] Federal Reserve (The Fed) resmi menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 3,50%–3,75% pada Rabu waktu Amerika Serikat atau Kamis dini hari waktu Indonesia. Pemotongan ini menjadi yang ketiga secara beruntun sepanjang 2025. Keputusan tersebut sejalan dengan tanda-tanda pelemahan ekonomi AS dan proses normalisasi kebijakan moneter setelah periode pengetatan panjang.
Dalam proyeksi ekonomi terbarunya, The Fed memperkirakan satu kali pemangkasan suku bunga pada 2026 dan satu pemangkasan tambahan pada 2027. Namun pandangan internal masih terbelah, dengan sebagian pejabat ingin mempertahankan suku bunga lebih lama dan sebagian lain mendukung pelonggaran yang lebih agresif. Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2026 dinaikkan menjadi 2,3% dari 1,8%, sementara inflasi diperkirakan turun ke 2,4% pada 2026 dari estimasi sebelumnya 2,6%.
Keputusan The Fed mendorong reli di Wall Street. Dow Jones menguat 1,1% ke 48.057,75, S&P 500 naik 0,7% ke 6.886,68, dan Nasdaq menutup sesi di 23.654,16. Sentimen pasar membaik setelah The Fed mengumumkan akan kembali membeli obligasi jangka pendek sehingga memperluas neraca bank sentral, yang kemudian menekan yield Treasury jangka pendek. Pasar juga menilai perubahan nada komunikasi The Fed sebagai sinyal bahwa fokus kebijakan mulai bergeser dari inflasi menuju stabilisasi pertumbuhan ekonomi.
Ketua The Fed Jerome Powell menegaskan bahwa kenaikan suku bunga bukan lagi skenario yang relevan pada kondisi saat ini meskipun bank sentral perlu menilai perkembangan ekonomi sebelum melakukan langkah selanjutnya. Sementara itu, pasar memperkirakan peluang lebih dari 77% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga dua kali lagi pada 2026, berdasarkan CME FedWatch.
Analis menilai sikap The Fed yang membuka ruang ekspansi neraca, proyeksi pertumbuhan yang lebih kuat, serta ekspektasi inflasi yang menurun sebagai kombinasi yang mendukung aset berisiko. Beberapa ekonom bahkan menilai keputusan ini dapat menjadi pemicu terjadinya Santa Claus rally di pasar saham AS hingga akhir tahun.
Dampak bagi pasar keuangan Indonesia
Pemangkasan suku bunga The Fed menjadi katalis positif bagi pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Penurunan yield dolar AS meningkatkan selera risiko global dan mendorong arus modal kembali masuk ke emerging markets. Rupiah berpotensi menguat karena tekanan capital outflow berkurang.
Pada pasar obligasi, penurunan yield Treasury memperlebar spread dengan Surat Berharga Negara (SBN). Kondisi ini membuat obligasi Indonesia lebih menarik bagi investor global, terutama pada tenor panjang 10–20 tahun yang memiliki ruang penguatan lebih besar. Penurunan yield global juga membantu menurunkan biaya pinjaman pemerintah dan memperbaiki likuiditas pasar obligasi domestik.
Sementara itu, pasar saham Indonesia turut mendapatkan sentimen positif dari meningkatnya likuiditas global dan menurunnya imbal hasil obligasi. Saham menjadi lebih kompetitif sebagai aset investasi. Sejumlah sektor berpotensi memimpin penguatan IHSG, terutama perbankan yang mendapat manfaat dari biaya dana lebih murah, sektor properti dan konstruksi yang sensitif terhadap penurunan suku bunga, serta sektor teknologi dan consumer discretionary yang cenderung bergerak mengikuti likuiditas global.
Pelemahan dolar AS juga membuka peluang penguatan harga komoditas seperti emas, nikel, batu bara, dan minyak sawit mentah, yang dapat memberikan dukungan tambahan bagi emiten berbasis komoditas di pasar domestik.

