[Medan | 23 April 2025] Presiden RI Prabowo Subianto resmi menerbitkan dua regulasi penting yang mengatur perlakuan perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM), yang diyakini akan membawa dampak besar terhadap kinerja emiten-emiten tambang di tahun 2025.
Aturan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 18/2025 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau PNBP pada Kegiatan Usaha Pertambangan Batubara yang merevisi PP No. 15/2022 sebelumnya, serta PP No. 19/2025 yang mengatur jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku di lingkup Kementerian ESDM.
Kebijakan ini menandai langkah serius pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor hulu pertambangan, terlebih di tengah tren harga komoditas global yang sempat tinggi dalam beberapa waktu terakhir. Namun demikian, langkah ini memunculkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar karena peningkatan tarif royalti diperkirakan akan membebani keuangan sejumlah perusahaan, khususnya yang masih sangat bergantung pada penjualan bijih mentah atau produk setengah jadi.
Menurut Muhammad Thoriq Fadilla, analis dari Lotus Andalan Sekuritas, dampak kebijakan ini akan berbeda-beda tergantung pada jenis komoditas dan struktur perizinan perusahaan.
Emiten-emiten batubara dinilai justru mendapatkan relaksasi, terutama bagi perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) seperti PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), dan PT Indika Energy Tbk (INDY). Sentimen positif tersebut langsung tercermin dalam pergerakan harga saham pada perdagangan Selasa (22/4), di mana saham BUMI naik 12,00%, AADI menguat 7,41%, INDY melonjak 24,89%, dan HRUM turut melesat 19,58%.
Sebaliknya, tekanan justru datang bagi emiten yang bergerak di sektor nikel dan tembaga. Kenaikan tarif royalti bijih nikel dari 10% menjadi 14%-19% dinilai akan menekan margin perusahaan seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).
Meskipun ANTM telah memulai program hilirisasi dan terlibat dalam pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik, beban biaya tetap sulit untuk dihindari. Begitu pula dengan produsen tembaga yang kini menghadapi tarif royalti baru sebesar 10%–17%, naik signifikan dari sebelumnya 5%. Kenaikan tarif ini menjadi tantangan berat, terutama bagi perusahaan yang belum menuntaskan pembangunan smelter dan masih menjual produk dalam bentuk konsentrat.
Thoriq menambahkan bahwa strategi peningkatan produksi semata tidak akan cukup untuk mengkompensasi beban tambahan akibat royalti yang lebih tinggi. Tanpa efisiensi biaya yang signifikan dan dukungan dari kondisi pasar global yang kondusif, upaya tersebut justru berisiko menambah tekanan terhadap profitabilitas perusahaan. Dengan begitu, emiten di sektor minerba kini dituntut untuk mengadopsi strategi bisnis yang lebih adaptif dan efisien agar tetap kompetitif di tengah perubahan regulasi yang cukup agresif ini.