[Medan | 13 Agustus 2025] Bursa saham Indonesia mendapat angin segar dari potensi masuknya dana asing dalam jumlah besar, seiring tren investor global yang mulai kembali melirik pasar negara berkembang (emerging market). Optimisme ini tercermin dari aksi beli bersih (net buy) investor asing di pasar modal domestik sejak awal Agustus 2025.
Survei bulanan Bank of America (BofA) yang dikutip The Financial Times mengungkapkan bahwa 37% manajer investasi global kini menempatkan porsi lebih besar di saham pasar negara berkembang. Angka ini merupakan level tertinggi sejak Februari 2023. Kenaikan minat tersebut dipicu oleh prospek positif ekonomi Tiongkok dan pelemahan dolar Amerika Serikat (AS).
Elyas Galou, Investment Strategist BofA, menjelaskan bahwa kombinasi optimisme terhadap Tiongkok dan sentimen bearish terhadap dolar AS menjadi katalis kuat bagi pasar emerging market. Data pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang solid dinilai mampu meredam efek negatif perang dagang yang kembali digencarkan Presiden AS Donald Trump.
Pelemahan dolar AS, yang tercatat sudah turun hampir 10% terhadap sekeranjang mata uang utama sejak awal tahun, membuka peluang bagi negara berkembang untuk menurunkan biaya pinjaman dan memberi ruang bank sentral memangkas suku bunga. Sentimen ini turut mendorong kinerja positif saham dan obligasi negara berkembang.
Secara kinerja, saham pasar negara berkembang tahun ini mengungguli negara maju. Indeks MSCI Emerging Markets mencatat return lebih dari 16% dalam dolar AS, melampaui indeks MSCI negara maju yang naik sekitar 11% dan S&P 500 Wall Street yang menguat 8,6%.
Meski reli sudah signifikan, investor menilai masih ada ruang kenaikan karena valuasi emerging market relatif murah setelah periode panjang underperformance. JPMorgan bahkan merekomendasikan saham negara berkembang dengan status “overweight” karena daya tarik valuasinya. Sebanyak 49% responden survei BofA menilai saham negara berkembang undervalued, tertinggi dalam lebih dari setahun terakhir.
Sebaliknya, 91% manajer investasi menganggap saham AS terlalu mahal setelah reli cepat sejak April dan serangkaian rekor tertinggi pada musim panas ini. Meski demikian, alokasi investor ke saham AS justru naik, meski masih tercatat net 16% underweight. Dukungan terhadap pasar AS datang dari laporan keuangan emiten yang melampaui ekspektasi, meskipun risiko volatilitas tetap tinggi.
Di sektor spesifik, porsi kepemilikan saham kesehatan merosot tajam setelah Trump mengenakan tarif 39% pada impor dari Swiss, salah satu eksportir farmasi utama dunia. Posisi overweight sektor ini kini berada di titik terendah sejak Januari 2018.
IHSG Bisa Tembus 8.000?
Adapun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mencetak rekor tertinggi tahun ini setelah melonjak 2,44% ke level 7.791 pada Selasa (12/8/2025), didorong oleh aksi beli asing yang signifikan. Investor asing tercatat membelanjakan sekitar Rp 2,2 triliun di Bursa Efek Indonesia pada hari itu, dengan dominasi saham-saham big banks seperti BBRI, BBCA, BMRI, dan Telkom (TLKM), juga saham energi seperti AMMN dan RAJA.
Lonjakan ini memperkuat ekspektasi bahwa IHSG akan menembus level psikologis 8.000 menjelang perayaan HUT RI ke-80 pertengahan Agustus. Bursa Efek Indonesia (BEI) sebelumnya menyatakan optimisme bahwa kombinasi pertumbuhan investor ritel, aktivitas IPO, serta arus modal asing berpotensi mendorong indeks mencapai angka tersebut.