[Medan | 19 November 2025] PT PP Tbk (PTPP) tengah menuntaskan agenda divestasi aset senilai total Rp1,69 triliun sebagai bagian dari strategi penataan portofolio dan fokus kembali pada bisnis inti. Perseroan melepas dua entitas anaknya yang bergerak di bisnis non-inti, yakni PT PP Infrastruktur (PPIN) dan PT Celebes Railway Indonesia (CRI).
Divestasi terbesar berasal dari penjualan 81% saham PPIN kepada PT Varsha Zamindo Laksana (VZL) dan afiliasinya dengan nilai transaksi Rp1,41 triliun. Porsi kepemilikan PTPP akan turun dari 99,15% menjadi 18,15% setelah transaksi rampung. Manajemen menyampaikan bahwa dana ini akan digunakan untuk memperkuat operasional serta mendorong pengembangan proyek di lini bisnis inti.
Selain itu, PTPP juga menjual 47,81% saham CRI kepada PT Solra Energi Terbarukan melalui perjanjian jual beli bersyarat senilai Rp282,1 miliar. Aksi ini menjadi bagian dari implementasi Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2025–2029 bertema Back to Core, yang menempatkan konstruksi gedung, infrastruktur, dan EPC sebagai fokus utama. Segmen-segmen tersebut telah menyumbang lebih dari 80% pendapatan perseroan.
Manajemen menegaskan bahwa langkah divestasi dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, memperbaiki arus kas, serta memperkuat kesehatan keuangan perusahaan. PTPP menargetkan total divestasi Rp3,06 triliun pada tahun ini, sehingga masih ada aset senilai Rp1,37 triliun yang harus dilepas hingga akhir 2025. Selain PPIN dan CRI, PTPP juga merencanakan divestasi di PT Centurion Perkasa Iman Surabaya dan PT PP Semarang Demak—yang terakhir baru dapat dilepas setelah seksi I beroperasi pada 2027.
Analis Kanaka Hita Solvera Andhika Cipta Labora menilai langkah divestasi akan membantu PTPP menata ulang fokus bisnis dan memperbaiki efektivitas operasional. Dana hasil penjualan aset dapat menjadi sumber pendanaan untuk memperkuat lini bisnis inti. Sementara itu, Senior Equity Research Kiwoom Sekuritas Sukarno Alatas menilai injeksi kas Rp1,69 triliun ini menjadi katalis jangka pendek yang penting bagi likuiditas perseroan, meski tidak langsung mengangkat profitabilitas karena aset yang dijual sebelumnya berkontribusi pada laba.
Dari sisi prospek, Andhika melihat potensi perbaikan kinerja sektor konstruksi pada 2026 seiring peluang penurunan suku bunga BI yang dipicu ekspektasi pelonggaran kebijakan The Fed. Biaya bunga yang lebih rendah serta stimulus pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi faktor positif tambahan. Proses merger BUMN Karya juga dinilai berpotensi memperbaiki efisiensi dan meningkatkan peluang kontrak baru. Ia merekomendasikan buy on weakness untuk saham PTPP dengan target harga Rp420.
Sementara Sukarno memperkirakan kinerja PTPP pada 2026 bergerak menuju pemulihan bertahap, ditopang likuiditas yang lebih sehat dan fokus pada proyek inti. Namun tekanan kinerja 2025, persaingan tender, serta hilangnya laba dari aset yang dijual menjadi risiko yang harus dicermati. Ia menilai valuasi PTPP saat ini sangat murah pada PBV 0,19x, tetapi pasar menunggu kejelasan penggunaan dana divestasi—khususnya untuk menurunkan utang—serta arah backlog dan margin setelah restrukturisasi. Sukarno memberikan rekomendasi hold atau buy dengan target harga 12 bulan Rp450–Rp500.
