[Medan | 19 Juni 2025] Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,67% ke level 7.107 pada perdagangan Rabu (18/6), menyusul keputusan Bank Indonesia yang menahan suku bunga acuan di level 5,5%.
Pelemahan paling tajam terjadi di sektor barang konsumsi siklikal yang turun 1,29%, disusul sektor teknologi yang melemah 1,21%. Sektor keuangan turut tertekan dengan penurunan sebesar 0,84%, sementara sektor barang konsumsi non-siklikal turun 0,60% dan sektor transportasi merosot 0,49%. Sektor kesehatan juga mencatat penurunan sebesar 0,48%, disusul sektor bahan baku yang melemah 0,46%, infrastruktur turun 0,28%, dan sektor energi melemah tipis sebesar 0,11%.
Di tengah pelemahan mayoritas sektor, hanya dua sektor yang mampu bertahan di zona hijau. Sektor properti mencatat kenaikan tertinggi dengan lonjakan 1,01%, sedangkan sektor industri menguat tipis sebesar 0,15%.
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di angka 5,50% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada 17–18 Juni 2025. Selain itu, BI juga mempertahankan suku bunga deposit facility di level 4,75% dan lending facility di 6,25%.
Langkah ini diambil sebagai respons terhadap meningkatnya risiko global, khususnya konflik antara Iran dan Israel yang menyebabkan harga minyak melonjak. Di samping itu, ketidakpastian dalam perdagangan internasional juga membuat BI belum melihat kondisi yang tepat untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut.
Menurut Fikri C. Permana, Ekonom dari KB Valbury Sekuritas, BI sebaiknya tidak terburu-buru memangkas suku bunga, terlebih saat kondisi ekonomi domestik belum sepenuhnya solid. Ia mencatat bahwa meskipun BI sempat menurunkan suku bunga sebanyak dua kali sebesar 25 basis poin pada Januari dan Mei 2025, langkah itu dilakukan ketika The Fed belum melakukan penurunan suku bunga sama sekali.
Fikri menjelaskan bahwa interest rate differential, atau selisih suku bunga antara Indonesia dan negara lain, bisa menyempit jika BI menurunkan bunga lebih cepat. Ini berisiko menurunkan daya tarik investasi di Indonesia, karena imbal hasilnya menjadi kurang kompetitif jika dibandingkan dengan negara lain, padahal risikonya lebih tinggi.
Ia juga menyoroti bahwa situasi ekonomi makro Indonesia masih belum ideal. Neraca transaksi berjalan masih defisit dan neraca pembayaran belum menunjukkan pemulihan berarti. Dalam situasi seperti ini, penurunan suku bunga bisa menimbulkan capital outflow, atau keluarnya aliran modal asing. Fikri menegaskan bahwa langkah paling bijak saat ini adalah menjaga stabilitas dengan tetap mempertahankan suku bunga di level saat ini.